Apa yang Tidak Kita Bicarakan Ketika Membicarakan Disabilitas Mental

Nurul Lathifah
5 min readOct 30, 2021

--

Apa yang terjadi ketika kamu memiliki disabilitas tapi orang-orang tidak melihatnya? Saya seorang penyintas gangguan depresi berat dan gangguan kepribadian ambang. Kedua gangguan ini ialah salah satu jenis dari disabilitas mental. Tidak seperti sakit fisik, seringnya, kondisi ini cukup bisa saya kontrol, tapi tidak jarang pula ketika saya relapse tidak banyak orang yang bisa mengerti. Disabilitas mental adalah sakit yang tidak terlihat oleh mata. Ketika orang jatuh sakit secara fisik, orang-orang di sekitarnya akan memberi pemakluman dan simpati. Mereka dapat meminta izin untuk beristirahat, mendapat kesempatan untuk berobat, mendapatkan kata-kata penghiburan dan buah tangan agar lekas sembuh. Sedangkan ketika orang memiliki disabilitas mental, ia disuruh bertobat, bukan berobat; diperlakukan dengan keras bukan disuruh istirahat dari kerja keras; dipaksa kuat bukan dirawat; dianggap lemah padahal untuk menjalani hari saja sungguh susah; dibilang kurang bersyukur saat tersungkur; dicemooh lebay saat ingin selesai. Kita masih memperlakukan secara berbeda antara sakit yang satu dengan sakit yang lainnya.

Ketika seseorang mengetahui bahwa saya memiliki disabilitas mental (depresi berat), pertanyaan yang sering kali saya dapati ialah “Kamu depresi kenapa? Memang apa yang disedihkan?”, yang tentu saja tidak bisa saya jawab dalam sekali duduk, apalagi dengan orang yang tidak begitu saya kenal. Disabilitas mental merupakan sesuatu yang kompleks. Ada interaksi faktor bio-psiko-sosial di sana. Mereduksi disabilitas mental menjadi faktor tunggal (sebab-akibat) hanya akan melanggengkan romantisisasi gangguannya dan tentunya kita tidak menginginkannya bukan?

Jadi, apa yang tidak kita bicarakan ketika membicarakan disabilitas mental?

1. Kita tidak membicarakan kalau orang dengan disabilitas mental tidak ingin diperlakukan berbeda

Memiliki disabilitas mental seperti berada dalam hubungan yang toxic — tidak baik bagi kesehatan, menimbulkan banyak konflik internal dan kesulitan, tapi di saat yang sama, kami bukannya butuh saran bagaimana cara memperbaiki diri, seolah-olah kami rusak. Melainkan butuh didengar dan dimengerti.

2. Kita tidak membicarakan bagaimana menggunakan disabilitas mental sebagai pengganti kata sifat itu dapat berbahaya

Ketika seseorang menggunakan disabilitas mental atau pun subkategori dari disabilitas mental untuk menggambarkan orang, hal, atau perasaan, artinya orang tersebut sedang overgeneralization serta salah menafsirkan disabilitas mental. Hal ini dapat memperkuat stereotip negatif dan meremehkan gangguan yang sebenarnya. Contoh: “Kamu OCD banget, apa-apa mesti teratur!”

3. Kita tidak membicarakan bagaimana kondisi dari disabilitas mental tidak ada hubungannya dengan kompetensi seseorang

Lingkungan akademis dan kerja bisa menjadi lingkungan yang mengerikan bagi para penyandang disabilitas mental. Stigma yang masih mengakar pada disabilitas mental membuat penyandangnya terdiskriminasi. Ketika seseorang secara fisik sedang tidak baik, tidak ada yang meragukan kapabilitas dari orang tersebut ketika mengajukan hari libur untuk beristirahat. Tapi ketika seseorang dengan disabilitas mental mengajukan hari libur saat relapse, ia akan dipertanyakan kapabilitasnya, seolah-olah ia tidak kompeten.

4. Kita tidak membicarakan bagaimana disabilitas mental bisa sangat melelahkan

Harus menjalani hari 24/7 dengan pikiran-pikiran negatif yang intrusif bisa sangat melelahkan. Kadang juga, efek samping obat dapat menimbulkan kantuk. Belum lagi, stigma negatif yang melekat pada disabilitas mental, sering kali membuat penyandang disabilitas mental harus menutupi dan mengelola emosinya dengan susah payah agar terlihat “normal” dan baik-baik saja. Hal ini tentunya sangat menguras energi.

5. Kita tidak membicarakan bagaimana disabilitas mental tidak harus terlihat sedih atau tertekan untuk terlihat sakit

Terlalu sering memasang topeng bahagia, sering kali membuat orang dengan disabilitas mental terlihat baik-baik saja. Hal ini biasanya dilakukan sebagai defense mechanism untuk menghindari perhatian yang tidak diinginkan, seperti penghakiman dan stigma.

Depresi dan Ragam Disabilitas

Banyak orang yang berpikir bahwa depresi adalah ketika seseorang merasakan kesedihan yang luar biasa. Tetapi, depresi bukanlah kesedihan. Kesedihan adalah respons yang wajar dan alamiah ketika melewati peristiwa tertentu, seperti kehilangan, perpisahan, pengkhianatan, dsb. Orang yang merasa sedih biasanya bisa menyadari apa yang membuat dirinya bersedih. Sedangkan depresi adalah gangguan mood yang serius dan umum terjadi. Mereka yang mengalami depresi merasakan perasaan sedih yang terus-menerus, merasa putus asa, dan kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya dinikmati. Untuk didiagnosis dengan depresi, seseorang harus mengalami gejala-gejalanya minimal dalam kurun waktu dua minggu.

Jika kita membicarakan soal disabilitas apa yang muncul dalam kepala kita? Apakah seseorang dengan kursi roda? Seseorang pakai tongkat dan kacamata hitam? Gambar ini muncul dalam pikiran kita karena itulah yang seringnya dipotret oleh media. Kata disabilitas juga membangkitkan gambar rancangan arsitektur “ramah” disabilitas. Pada realitanya, banyak orang yang hidup dengan disabilitas yang tidak kasatmata, yang tidak terbantu dengan parkir khusus disabilitas atau bangku prioritas. Mulai dari spektrum autisme, ADHD, gangguan mood, gangguan kepribadian, serta penyakit kronis seperti lupus, dan lain-lain. Representasi disabilitas yang beragam ini sangatlah penting, agar kebutuhan penyandang disabilitas dapat terakomodasi dengan baik. Saya tidak terkaget lagi, ketika saya melakukan polling di Instagram saya yang menanyakan apakah gangguan mental merupakan disabilitas, hampir seluruh partisipan menjawab tidak. Padahal, disabilitas merupakan istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan individu yang mengalami gangguan pada struktur atau fungsi tubuh sehingga menyebabkan keterbatasan dalam melaksanakan tugas maupun kegiatan sehari-hari, hal yang sangat lumrah terjadi pada seorang yang mengalami gangguan mental.

Jadi, apa yang seharusnya kita bicarakan ketika membicarakan disabilitas mental?

UU №8 tahun 2016 menjelaskan gangguan mental merupakan salah satu dari dua jenis disabilitas mental, disabilitas psikososial dan disabilitas perkembangan Disabilitas psikososial merupakan individu yang mengalami gangguan pada pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku. Disabilitas psikososial memiliki beberapa ragam, misalnya orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), skizofrenia, depresi, bipolar, PTSD, dsb. Disabilitas perkembangan adalah individu yang mengalami gangguan pada perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial. Contoh disabilitas perkembangan adalah autisme (Autism Spectrum Disorder) dan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder).

Disabilitas yang tidak terlihat seperti disabilitas mental bisa lebih mudah dalam beberapa hal daripada yang terlihat secara fisik, tetapi mereka juga bisa lebih sulit karena ketidakterlihatan tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan pada bahasan sebelumnya, kita masih memperlakukan secara berbeda antara sakit yang satu dengan sakit yang lainnya. Berbagai macam stigma negatif yang dialami pada penyandang disabilitas mental masih terjadi sampai sekarang ini. Tak jarang mereka dengan disabilitas mental dipinggirkan dan diasingkan dengan cara, dikurung atau dirantai dalam kandang, atau pun dipasung. Salah satu cara untuk mematahkan stigma negatif yang dialami pada penyandang disabilitas mental ialah edukasi dan sosialisasi di lingkungan keluarga yang memiliki anggota keluarga seorang disabilitas mental dan masyarakat sesuai dengan pedoman tertentu, agar mampu meningkatkan kesadaran dan merangkul para penyandang disabilitas.

Tidak semua orang dengan disabilitas yang tidak terlihat merasa aman dan atau nyaman dalam membeberkan bahwa ia memiliki disabilitas. Ketika seseorang dengan disabilitas yang tidak terlihat menjelaskan pada kita bahwa ia memiliki disabilitas, mengedukasi diri dan menciptakan ruang yang aman dan saling menghormati bagi orang tersebut untuk berbagi pengalaman pribadinya dengan kita adalah cara yang baik untuk menjadi ally bagi penyandang disabilitas tersebut. Hal ini penting untuk membentuk masyarakat yang lebih inklusif dan adil bagi setiap insan manusia. Mari kita ingat untuk membicarakan hal-hal yang biasanya tidak kita bicarakan, karena percakapan yang kita abaikan ini terkadang adalah yang paling penting untuk dibicarakan.

--

--

Nurul Lathifah

Sedang belajar menulis dengan membaca dan mendengarkan lebih kerap.